Jihad Santri Masa Kini

Jihad Santri Masa Kini

Pada 7 Desember 2022, kita dikejutkan dengan ledakan bom bunuh diri di Bandung. Kejadian bom bunuh diri dengan alasan jihad tersebut, merupakan kejadian kesekian kalinya, yang di antaranya menewaskan banyak korban, seperti terjadi di Bali pada 2002 dan 2005. Ironisnya, sebagian besar pelaku justru tidak memiliki pemahaman agama yang cukup, dan berguru kepada orang yang pemahaman agamanya menyimpang. Mereka meneriakkan jihad lebih kepada perebutan kekuasaan dengan menegakkan pemerintahan Islam, meski dengan mengorbankan bangsa sendiri.

Hal tersebut berbeda dengan konteks jihad yang dilakukan oleh para santri yang menjadi dasar peringatan Hari Santri tanggal 22 Oktober sejak 2015.  Penetapan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo merujuk pada resolusi jihad yang diserukan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Beliau menyerukan kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan. Lalu bagaimana jihad santri yang relevan saat ini?

Jihad Melalui Pendidikan

Di samping perang fisik, dunia saat ini juga mengalami berbagai bentuk perang lain, seperti perang di bidang kebudayaan, digital, biologi, serta perebutan sumber daya makanan, air, dan energi. Mereka yang menguasai hal-hal inilah yang akan menang. Untuk menghadapi perang modern seperti itu, tentu saja santri harus siap, terutama dengan bekal pengetahuan. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi melalui pendidikan adalah kunci terpenting untuk memenangkan perang.

Seperti kita ketahui, pendidikan di Indonesia menarik perhatian masyarakat dari tahun ke tahun. Mulai dari kebijakan pergantian menteri yang selalu berubah, beban belajar yang berat dan ketidaksinkronan antara materi yang diajarkan dengan kebutuhan dunia kerja. Jika melihat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2022 yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), kita patut khawatir karena Indonesia hanya mendapat skor 0,705 dari 191 negara, atau berada di peringkat 114. Kita kalah dari Palestina yang berada di peringkat 106 meski negara tersebut sering terjadi konflik, dan kita kalah dari Malaysia yang dulu belajar dari Indonesia yang kini di posisi 62. Bahkan Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang menempati peringkat ke-12, meskipun negara tersebut memperoleh kemerdekaan 20 tahun setelah Indonesia. IPM diukur dari tingkat pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Hal yang sama di Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2021, posisi Indonesia masih di bawah, yaitu peringkat 80 dari 134 negara. GTCI adalah pemeringkatan daya saing nasional berdasarkan kapabilitas atau kapasitas pengelolaan sumber daya manusia (SDM) suatu negara. Beberapa indikator untuk menilai indeks ini antara lain pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi informasi, gender, lingkungan, toleransi dan stabilitas politik. Indonesia jauh dari posisi Singapura yang menduduki pertama di ASEAN dan kedua di dunia dalam bidang GTCI. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing sumber daya manusia Indonesia masih kalah dengan negara lain.

Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0

Kita sekarang berada di Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0. Penggunaan kecerdasan buatan (AI) atau artificial intelligence kini telah banyak digunakan dalam bidang manajemen, bisnis dan pendidikan. Banyak pekerjaan manusia sekarang telah digantikan oleh mesin, yang mengarah ke era yang dikenal sebagai disrupsi. Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 semakin terlihat di depan mata setelah dunia dilanda pandemi Covid-19 dan semua bidang kehidupan hampir tidak bergerak, sehingga teknologi harus dimanfaatkan. Saat ini dengan berbaring di rumah, kita bisa sekaligus melakukan berbagai aktivitas, misalnya menghadiri kuliah di Tiongkok, menikmati perjalanan virtual di Inggris, diskusi dan rapat di Jakarta, sambil membayar listrik, tagihan air minum dan banyak lagi. Di era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 saat ini, menurut pengamat kurikulum Dwi Nurani, setidaknya dibutuhkan beberapa keterampilan dasar literasi, seperti literasi informasi, literasi teknologi, serta literasi humaniora, komunikasi dan desain.

Antara tahun 2030 dan 2040, Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan demografi, yaitu jumlah usia produktif (usia kerja) akan melebihi jumlah usia non-produktif, suatu keadaan yang akan dialami kembali dalam ratusan tahun ke depan. Pertumbuhan demografis ini harus kita manfaatkan sedemikian rupa sehingga tetap menjadi bonus atau manfaat bagi bangsa, dan tidak menjadikannya sebagai beban demografis atau masalah kependudukan. Pada tahun 2045, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaan, yang juga dikenal sebagai Indonesia Emas. Pada tahun tersebut, Indonesia diharapkan membuat kemajuan pesat di segala bidang. Hal ini sesuai dengan prediksi beberapa kalangan internasional bahwa pada tahun 2050 dunia akan dipimpin oleh negara-negara Asia, atau yang disebut dengan Asian Century, termasuk Indonesia. Pada tahun 2050, Indonesia diprediksi menjadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia.

Paradigma Baru

Kondisi saat ini menjadi tantangan bagi santri. Untuk itu, santri harus kita persiapkan mulai dari sekarang. Di belahan dunia lain, negara-negara sedang mengembangkan teknologinya sendiri, seperti Iran yang terus mengembangkan energi nuklir, China yang mengembangkan matahari buatan, Taiwan yang mengembangkan robot pembaca berita, dan lain-lain. Di sisi lain, masih banyak santri yang harus berjuang untuk ekonominya, serta disibukkan dengan isu-isu khilafiyah. Sebagian santri abai bahwa banyak perusahaan menjarah sumber daya alam Indonesia dan korupsi ada di mana-mana. Demikian pula, masalah kesehatan, lingkungan, pendidikan dan lainnya masih melingkupi bangsa dan belum ditangani secara memadai. Masih sedikit santri profesional yang bisa bersaing di dunia global karena kurangnya pengetahuan di bidang umum. Bahkan banyak santri yang dilarang bersekolah umum karena dianggap hanya untuk kepentingan dunia. Perlu diingat bahwa pengetahuan umum tidak kalah pentingnya dengan pengetahuan agama. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Bahkan menurut Syaikh Thanthawi, seorang guru besar di Al-Azhar Kairo, dalam tafsirnya Al-Jawahir, hanya ada 150 ayat fiqh dalam Al-Qur’an, sementara lebih dari 800 ayat menyinggung mengenai alam semesta. Bahkan kata “Ulama” dalam Al-Qur’an Surat Fathir ayat 28 ditulis setelah Allah menjelaskan berbagai fenomena alam seperti langit, hujan, gunung, buah-buahan dan hewan di ayat sebelumnya. Dengan kata lain, ilmu umum merupakan bagian penting dari Al-Qur’an yang tidak bisa diabaikan. Bahkan ayat-ayat Al Alaq yang pertama turun juga mengungkap penciptaan manusia yang seharusnya menjadikan santri tertarik mendalami ilmu biologi dan kedokteran.

Harus dipahami bahwa mendalami ilmu umum yang digunakan untuk kemaslahatan manusia dan menjadikan manusia tambah dekat dan takut kepada Allah juga akan mendapat pahala di sisi Allah. Dengan demikian, pembedaan antara ilmu umum sebagai ilmu dunia, sementara ilmu agama sebagai ilmu akhirat sudah tidak relevan. Generasi Muslim di masa keemasan juga mengalami kesuksesan ketika perkembangan pendidikan agama berjalan seiring dengan ilmu pengetahuan umum. Saatnya santri tidak lagi meremehkan pengetahuan umum di era disrupsi ini.

Misalnya, kehalalan vaksin tentu akan lebih mudah diuji jika ada santri yang tidak hanya ahli agama tapi juga ahli vaksin. Santri yang menguasai teknologi informasi juga dapat memudahkan dakwah mereka. Sudah saatnya selain memahami tentang agama yang merupakan fardlu ain (wajib untuk pribadi), santri juga mendalami ilmu umum seperti kedokteran, ilmu nuklir, kimia, biologi, teknologi informasi, astronomi, diplomasi, perbankan, hukum, dll.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Langkah, upaya dan keputusan yang kita ambil hari ini dalam dunia pendidikan akan menentukan kontribusi santi di masa depan. Konsep rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta), tentunya tidak hanya dipahami dalam konteks agama, tapi juga bagaimana santri bisa bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitarnya dalam berbagai bidang. Itulah wujud jihad santri di masa kini. Dan untuk itu, pendidikan menjadi kunci!

Dr. Roziqin

Penulis adalah Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Doktor lulusan Zhejiang University, Tiongkok